Surat Terbuka untuk Prabowo: Mengatasi Tantangan Utama Indonesia dalam Perdagangan dan Investasi – Akademisi
Surat Terbuka untuk Prabowo: Mengatasi Tantangan Utama Indonesia dalam Perdagangan dan Investasi – Akademisi
Di telinga Presiden Prabowo, Indonesia telah menetapkan tujuan ambisius untuk menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia pada tahun 2045. Untuk mencapai hal ini, negara ini menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen pada tahun 2024 dan 5,3 persen pada tahun 2025, dengan aspirasi untuk pertumbuhan yang lebih tinggi lagi. di tahun-tahun berikutnya.
Namun, pencapaian peringkat tersebut tidak akan ada artinya tanpa adanya perbaikan yang signifikan baik dalam perekonomian maupun kualitas hidup masyarakatnya. Akankah Indonesia mampu mengangkat 25,2 juta orang keluar dari kemiskinan dan mengangkat dirinya ke status berpenghasilan tinggi pada saat itu? Pemenuhan target-target ini akan sulit dicapai jika tidak ada arah yang jelas dan kebijakan ekonomi yang konsisten. Kami akan menyoroti tiga bidang utama dalam perdagangan dan investasi yang memerlukan perhatian strategis dan reformasi kebijakan.
Pertama adalah bagaimana mempercepat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ekspor dan investasi asing langsung (FDI). Indonesia perlu segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kinerja ekspor dan menarik lebih banyak penanaman modal asing. Sayangnya, data terkini menunjukkan terbatasnya daya saing Indonesia dalam kegiatan ekspor. Dari tahun 2014 hingga 2024, rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia berfluktuasi antara sekitar 15 persen dan 22 persen, penurunan dari kisaran 20-26 persen yang terlihat pada dekade sebelumnya.
Sebaliknya, Vietnam tidak hanya mempertahankan tetapi juga meningkatkan rasio ekspor terhadap PDB, meningkat dari sekitar 45 persen pada tahun 2004 menjadi antara 64 persen dan 91 persen pada tahun-tahun terakhir. Meskipun Indonesia memiliki potensi manufaktur yang besar, pangsa kami dalam ekspor global, khususnya ekspor teknologi tinggi dan bernilai tambah, masih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Untuk memperluas jejak perdagangan global kita, sangatlah penting untuk melakukan diversifikasi produk dan pasar ekspor, menegosiasikan perjanjian perdagangan yang lebih baik dan meningkatkan nilai tambah ekspor kita.
Faktor penting lainnya adalah rasio FDI terhadap PDB, yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara berkembang lainnya di kawasan ini. Pada tahun 2023, rasio FDI terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 1,6 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Filipina sebesar 2,0 persen, Vietnam sebesar 4,3 persen, dan Singapura sebesar 35,0 persen. Untuk menarik investasi asing yang lebih banyak dan berkualitas tinggi, Indonesia perlu menyederhanakan peraturan, meningkatkan transparansi, dan menumbuhkan lingkungan yang lebih ramah bisnis.
Kedua adalah perluasan cakupan operasi badan usaha milik negara (BUMN) seiring dengan meningkatnya utang pemerintah. Meskipun jumlah BUMN menurun dari 119 pada tahun 2014 menjadi 46 pada tahun 2024 karena banyaknya merger menjadi perusahaan induk, namun cakupan operasionalnya telah diperluas secara signifikan. Selain sektor tradisional seperti perbankan dan ekstraksi minyak dan gas, BUMN kini juga beroperasi di bidang-bidang seperti perhotelan, dan bahkan bersaing dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal. Jika dicermati lebih dekat, besarnya pengaruh negara menjadi lebih luas ketika mempertimbangkan Business-of-the-States (BOS), yang merujuk pada perusahaan-perusahaan yang memiliki setidaknya 10 persen kepemilikan pemerintah. Meskipun BUMN hadir di 52 persen dari seluruh sektor ekonomi, entitas BOS mencakup 87 persen. Kekhawatiran utama adalah bahwa BUMN di Indonesia mempunyai banyak anak perusahaan dengan lini bisnis yang terdiversifikasi, dan seringkali tidak terkait dengan kegiatan inti perusahaan induknya.
Meskipun BUMN mempunyai peran yang sah dalam perekonomian, khususnya dalam mengelola sektor-sektor yang tidak dapat ditangani oleh sektor swasta atau dianggap terlalu mahal, dominasi mereka yang semakin besar berpotensi menghambat inovasi, menghambat sektor swasta dan mendistorsi persaingan. Oleh karena itu, penerapan reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan transparansi BUMN bukan hanya merupakan hal yang disarankan namun juga penting. Yang paling penting, kita harus memastikan adanya kesetaraan bagi semua pihak, baik milik negara maupun swasta. Selain itu, meningkatnya rasio utang terhadap PDB juga mengkhawatirkan. Pada tahun 2023, utang mencapai 42 persen PDB Indonesia, naik dari 26,4 persen pada tahun 2014, dan diperkirakan meningkat menjadi 42,5 persen pada tahun ini. Meskipun pinjaman dapat mendukung pembangunan, pengelolaan fiskal yang hati-hati sangat penting untuk menghindari beban utang yang berlebihan. Memastikan bahwa dana pinjaman dialokasikan secara efektif untuk investasi produktif sangat penting untuk menjaga masa depan keuangan Indonesia.