Kurator sebagai katalis: Mendefinisikan ulang seni di Indonesia dan sekitarnya – Seni & Budaya

Kurator sebagai katalis: Mendefinisikan ulang seni di Indonesia dan sekitarnya – Seni & Budaya

Pameran seni rupa besar hampir tak terbayangkan tanpa kurator, yang visinya pada dasarnya membentuk pameran tersebut. Pameran yang lebih kecil pun mendapat perhatian lebih jika melibatkan kurator bergengsi yang nama dan reputasinya mewakili kualitas karya seni atau seniman yang ditampilkan.

Kata “kurator” berasal dari istilah Latin “curare”, yang pada abad ke-14 merujuk pada pengasuh anak atau orang sakit jiwa. Pada abad ke-17, peran ini berkembang ketika orang-orang kaya mengumpulkan banyak koleksi seni dan membutuhkan seseorang untuk mengelola dan merawat aset mereka.

Di Indonesia, istilah “kurator” biasanya diasosiasikan dengan perdagangan, namun booming seni pada pertengahan tahun 1990-an, yang dibarengi dengan munculnya galeri komersial, mendorong terciptanya galeri alternatif yang mengutamakan kualitas dibandingkan perdagangan. Seorang kurator menjadi penting dalam membedakan upaya-upaya ini.

Saat ini, dengan menjamurnya pameran seni rupa, pekan raya, dan biennale internasional, peran kurator memiliki daya tarik tersendiri. Di tengah perubahan yang cepat dalam dunia seni, kurator diharapkan untuk melampaui tugas konvensional mereka, menantang norma-norma dan memperkenalkan paradigma baru.

Misalnya, mendiang kurator Swiss Harald Szeemann merevolusi edisi kelima pameran seni kontemporer lima tahunan dokumentasi pada tahun 1972 dengan memasukkan tidak hanya lukisan dan patung tetapi juga fotografi dan kejadian, atau seni pertunjukan.

Demikian pula, kurator Perancis Jean Hubert Martin dari Centre Georges Pompidou di Paris menimbulkan kegemparan pada tahun 1989 dengan pamerannya. Les Magiciens de la Terreyang mewujudkan prinsip kesetaraan yang visioner dengan menampilkan 50 persen peserta dari negara Barat dan 50 persen peserta non-Barat.

Baca juga: Artis Perempuan Indonesia: Transcending Compliance