Kisah cinta yang tidak terlalu dirahasiakan orang Indonesia dengan sambal – Makanan

Kisah cinta yang tidak terlalu dirahasiakan orang Indonesia dengan sambal – Makanan

etsa adalah bumbu. Kecap (kecap manis) adalah bumbu. Tapi sambal? Sambal adalah gaya hidup, setidaknya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Seperti kata pepatah, “Belum makan kalau belum makan nasi (Belum makan kalau belum makan nasi),” begitu juga dengan sambal.

Entah itu sesendok sambal yang ditambahkan ke sepiring kukusan nasi goreng (nasi goreng), sesendok ramuan jeruk encer diaduk ke dalam mangkuk bakso (sup bakso) atau pasta pedas disajikan sebagai pendamping renyah ayam goreng (ayam goreng), sambal bukan sekadar penambah pedas. Ini tentang mengubah makanan, dan bagi banyak orang Indonesia, ini adalah bagian inti dari identitas mereka.

Dari sambal ijo (cabai hijau) Padang hingga harum sambal matah (cabai iris mentah, bawang merah, dan serai) di Bali, sambal sepertinya memiliki variasi yang tiada habisnya — masing-masing tidak hanya mencerminkan cita rasa lokal tetapi juga hubungan yang mendalam dengan kampung halaman dan siapa kita sebagai orang Indonesia.

Sebuah studi pada tahun 2018 yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada mengidentifikasi 322 jenis sambal yang berbeda, dan masih banyak lagi kreasi yang belum terkatalogkan di dapur-dapur di seluruh negeri.

Jadi dari mana datangnya cinta atau ketergantungan ini? Apakah itu ada dalam DNA kita, atau sesuatu yang kita peroleh, diwariskan dari generasi ke generasi, sesendok demi sesendok?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya bertanya-tanya, dan mengutip Elizabeth Schuyler dari musikal tersebut HamiltonSaya menyadari tiga kebenaran mendasar: pertama, sambal lebih dari sekadar saus; kedua, alam mungkin memberikan landasan bagi toleransi kita terhadap alam, namun pengasuhan benar-benar membentuk kecintaan kita terhadap alam; dan ketiga, ada alternatif lain, namun tidak tepat sasaran.

Sambal sebagai ‘pola pikir’