Analisis: Skema tarif KRL yang dibedakan pemerintah picu protes – Academia
Analisis: Skema tarif KRL yang dibedakan pemerintah picu protes – Academia
Rencana pemerintah untuk membedakan harga tiket KRL berdasarkan nomor kartu tanda penduduk (NIK) penumpang telah memicu protes luas di masyarakat. Rencana tarif baru yang bertujuan memberikan subsidi tiket hanya kepada mereka yang memenuhi syarat akan mengakibatkan kenaikan tarif bagi kelas menengah yang posisinya semakin sulit.
Skema tarif diferensial tersebut tertuang dalam APBN 2025 terkait perbaikan pelaksanaan subsidi pemerintah untuk angkutan umum (PSO). Anggaran subsidi PSO tahun depan sebesar Rp 7,96 triliun, naik 0,9 persen dari proyeksi 2024. Dari total anggaran tersebut, sebesar 60 persen atau Rp 4,79 triliun dialokasikan untuk PT KAI. Tidak disebutkan secara pasti berapa alokasi subsidi PSO untuk KRL, namun pada 2023 porsi subsidi KRL sebesar 65,2 persen dari total anggaran PSO untuk KAI.
Pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tarif untuk kelas menengah dapat diterima karena tarif KRL tetap sama sejak 2016 meskipun biaya operasional meningkat. Saat ini, tarif KRL ditetapkan sebesar Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama dan tambahan Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya.
Namun, bagi pengguna KRL, kenaikan tarif dapat diterima, tetapi bukan pembedaan tarif berdasarkan pendapatan. Pembedaan pengguna KRL menjadi kaya dan miskin bertentangan dengan ide dasar transportasi umum inklusif yang memberikan standar layanan yang sama kepada semua kelompok. Pengguna KRL selama ini menuntut peningkatan layanan KRL, seperti jarak antarkereta dan keterbatasan kapasitas kereta pada jam sibuk.
Karena sistem transportasi di Jabodetabek belum terintegrasi, para komuter menghadapi masalah baik di mil pertama maupun terakhir perjalanan mereka, di mana mereka harus berganti moda transportasi. Hal ini menyebabkan biaya transportasi bagi para komuter di Jabodetabek mencapai 11,4 persen dari upah minimum mereka, di atas rekomendasi Bank Dunia sebesar 10 persen.
Meskipun jumlahnya besar, kelas menengah di Indonesia sering kali tidak menerima perlindungan sosial yang memadai, tidak seperti masyarakat miskin dan rentan. Kelas menengah menghadapi ekonomi yang lesu dengan meningkatnya risiko PHK besar-besaran. Pemutusan hubungan kerja telah mencapai 46.240 tahun ini, 5.000 lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu.
Para ahli telah memperingatkan pemerintah agar tidak membebani kelas menengah lebih jauh karena pada akhirnya dapat mendorong mereka untuk melakukan protes besar-besaran seperti yang terjadi di Chili pada tahun 2019, yang dikenal sebagai paradoks Chili. Indonesia kini memiliki situasi serupa di mana ekonomi secara konsisten tumbuh sebesar 5 persen, tetapi hanya menguntungkan para penerima pendapatan atas. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal dari 44,12 persen pada tahun 2019 menjadi 40,89 persen pada tahun 2023, yang menyebabkan populasi kelas menengah turun dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta pada tahun 2024.
Apa yang sudah kami dengar
Sumber internal KAI mengakui rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi KRL merupakan dalih untuk menaikkan tarif kereta api. “Pemerintah dan KAI takut menaikkan tarif secara langsung,” kata sumber tersebut. Banyak pihak yang meminta pemerintah bersikap jujur dan menaikkan tarif secara berkala selama beberapa tahun. Di sisi lain, mekanisme pengecekan NIK terlalu menyita perhatian.
Banyak konsumen yang menilai kenaikan tarif KRL masih wajar. Masalahnya, standar pelayanan sudah stagnan dari tahun ke tahun, dengan munculnya berbagai masalah seperti keterbatasan jumlah gerbong, frekuensi kereta, ketepatan waktu, dan fasilitas stasiun.
Masalahnya, peran KAI hanya sebagai operator. Sebagian urusan terkait sarana dan prasarana berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Banyak sarana yang dikelola Kementerian tidak terawat dengan baik, seperti lift dan eskalator yang sering rusak. Terbatasnya jumlah kereta dan gerbong membuat kapasitas layanan sangat berkurang, sehingga memicu kepadatan penumpang pada jam sibuk.
Rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi KRL bertolak belakang dengan subsidi yang diberikan untuk kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh. Saat ini, jumlah kereta Argo Parahyangan semakin berkurang karena dipangkas untuk menambah permintaan Whoosh.
Sumber lain menyebutkan, pendapatan dari angkutan batu bara KAI harus disisihkan sebagai cadangan jika KCIC terus merugi. Saat ini, keuangan KAI terbatas dan tidak bisa lagi memberikan subsidi silang kepada unit bisnis lainnya, termasuk KCI, operator KRL.