Tersesat di Jawa: Menelusuri jejak mistis penyair Prancis Arthur Rimbaud di Indonesia – Seni & Budaya

Tersesat di Jawa: Menelusuri jejak mistis penyair Prancis Arthur Rimbaud di Indonesia – Seni & Budaya

Diperlukan seorang jenius—seperti penyair Inggris TS Eliot—untuk meramalkan tanah-tanah terlantar yang akan muncul di dunia modern yang kita kenal saat ini.

Namun, dibutuhkan seorang visioner sejati, yang bertekad, untuk meramalkan masa depannya sendiri. Penyair legendaris Prancis Arthur Rimbaud melakukannya pada usia 18 tahun, dan hal itu membawanya pada pengembaraan ke tempat yang saat itu merupakan Hindia Belanda, khususnya kota Salatiga di Jawa Tengah.

Sosok yang sangat berpengaruh bagi para modernis terkenal dari Eliot hingga James Joyce, Rimbaud menuliskan takdirnya dalam salah satu baris dari puisi prosanya yang monumental “A Season in Hell” pada tahun 1873:

“Hari saya sudah berakhir: Saya akan meninggalkan Eropa. Udara laut akan membakar paru-paru saya; iklim yang tidak dikenal akan membuat kulit saya menjadi kecokelatan.”

Enam tahun kemudian, pada tahun 1876, ia menaiki kapal yang berlayar ke Hindia Belanda—setelah mendaftar sebagai prajurit untuk Tentara Kerajaan Belanda. Ia menginjakkan kaki di Batavia (sekarang Jakarta) bersama para rekrutan lainnya, menyeberangi pulau Jawa dengan kereta api, perahu, dan berjalan kaki untuk mencapai Salatiga, dan hanya menghabiskan waktu dua minggu di sana sebelum meninggalkan tentara kolonial untuk berlayar pulang ke Prancis.

Misteri dalam teka-teki

Perjalanan Rimbaud telah lama diteliti oleh para kritikus yang bertanya-tanya mengapa salah satu pemikir paling cemerlang Prancis berhenti menulis dan meninggalkan semuanya untuk melakukan perjalanan ke belahan dunia lain.