Penumpang di Jabodetabek Khawatir dengan Rencana Pemerintah Soal Tarif Berbasis Pendapatan – Society
Penumpang di Jabodetabek Khawatir dengan Rencana Pemerintah Soal Tarif Berbasis Pendapatan – Society
Usulan pemerintah baru-baru ini untuk mengenakan tarif berbeda bagi penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek berdasarkan pendapatan mereka telah memicu kritik luas, karena potensi kenaikan tarif bagi orang-orang tertentu hanya akan membuat mereka enggan menggunakan transportasi umum, dan memperburuk kemacetan kota yang sudah parah.
Saat ini, tarif KRL disubsidi secara merata oleh apa yang disebut pendanaan kewajiban layanan publik (PSO) dari anggaran negara. Semua penumpang kini membayar Rp 3.000 (19 sen AS) untuk 25 kilometer pertama perjalanan mereka dan Rp 1.000 untuk setiap 10 km tambahan, dengan tarif dibatasi pada Rp 13.000 per perjalanan.
Dengan biayanya yang relatif rendah, moda transportasi ini digemari banyak orang; ia membantu mengangkut hampir 800.000 penumpang di Jakarta dan di kota-kota tetangga seperti Jatim, Bogor, Depok, dan Tangerang dalam sehari.
Namun, biaya tersebut berpotensi berubah dalam waktu dekat karena pemerintah berencana memberlakukan skema tarif baru di mana penumpang akan membayar secara berbeda sesuai dengan pendapatan mereka.
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mencatat penambahan dana PSO untuk PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sebesar 0,9 persen menjadi Rp 7,96 triliun yang sebagian dialokasikan untuk “memperbaiki” skema subsidi tarif agar “lebih tepat sasaran”.
Berdasarkan skema baru, kelas penumpang tertentu tidak akan menerima subsidi dan akibatnya akan dikenakan kenaikan tarif. Beberapa penumpang telah menyatakan keberatan mereka terhadap rencana tersebut, dengan mengatakan bahwa potensi kenaikan harga hanya akan menambah beban keuangan mereka.
Sri Hastuti, seorang guru berusia 40 tahun di SMK Pandawa Budi Luhur di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, termasuk di antara banyak orang yang bergantung pada Commuter Line untuk berangkat kerja.