Pemberontakan pemilu membuka cakrawala baru bagi demokrasi Indonesia – Academia
Pemberontakan pemilu membuka cakrawala baru bagi demokrasi Indonesia – Academia
Landasan politik Indonesia telah berguncang dengan dahsyat dalam beberapa minggu terakhir, membawa akhir yang memalukan, jika tidak tragis, bagi masa jabatan 10 tahun Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Jokowi, yang dulunya merupakan ikon demokrasi negara, telah berubah menjadi sosok patriarki yang menggurui, sehingga banyak yang membandingkannya dengan Soeharto, yang memerintah negara ini selama lebih dari 30 tahun hingga pemberontakan prodemokrasi memaksanya mundur pada tahun 1998.
Jokowi juga telah melihat kekuasaannya dijungkirbalikkan oleh protes nasional yang mendukung demokrasi. Ribuan orang turun ke jalan pada 22 Agustus untuk menolak revisi UU Pilkada yang seharusnya memperkuat dominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM), sebuah lembaga politik baru yang telah mendukung pembentukan dinasti politik Jokowi.
Sebelum pemberontakan, Jokowi tampak tak terkalahkan di semua bidang kekuasaan negara, termasuk legislatif dan yudikatif. KIM, kekuatan di balik kemenangan elektoral Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan putra sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden bulan Februari, berada di jalur yang tepat untuk mendukung menantu Jokowi Bobby Nasution dan putra bungsunya Kaesang Pangarep dalam pemilihan daerah bulan November.
Dalam upaya keras melawan putusan Mahkamah Konstitusi yang berupaya melindungi demokrasi negara, koalisi telah membahas revisi undang-undang tersebut semalam. Revisi undang-undang tersebut tidak akan dapat dihentikan jika rakyat tidak mengorganisir diri lebih cepat untuk menggelar protes terbesar yang pernah terjadi di negara ini dalam lima tahun terakhir.
Unjuk rasa yang dimulai di luar gedung DPR di Jakarta itu dengan cepat menyebar ke kota-kota lain. Ribuan orang berbondong-bondong membela hak pilih mereka dalam pemilihan kepala daerah di tengah rencana Jokowi dan KIM untuk memaksakan calon mereka melawan keinginan rakyat, termasuk Kaesang yang masih di bawah umur, dan untuk menguasai daerah dan sumber dayanya.
Gerakan sipil yang menyerukan “Peringatan Darurat” tidak hanya membanjiri media sosial, tetapi juga konser musik dan acara universitas.