Analisis: Kebijakan KPK yang Diusung Prabowo Picu Kekhawatiran Legitimasi – Akademisi
Analisis: Kebijakan KPK yang Diusung Prabowo Picu Kekhawatiran Legitimasi – Akademisi
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk melanjutkan seleksi terhadap 10 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dicalonkan pada minggu-minggu terakhir masa jabatan mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memicu kekhawatiran mengenai legitimasi calon pemimpin komisi tersebut di masa depan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2022 menegaskan bahwa kewenangan memilih pimpinan KPK berada di tangan presiden petahana, namun Prabowo memilih untuk tidak mengubah daftar calon akhir. DPR akan mewawancarai 10 calon tersebut sebelum memilih lima di antaranya sebagai pimpinan KPK masa jabatan 2024-2029.
Seruan kepada Prabowo untuk memulai kembali proses seleksi diprakarsai oleh Boyamin Sulaiman, koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang memperingatkan potensi konsekuensi hukum jika DPR melanjutkan pemilihan Jokowi. Mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Boyamin menegaskan Jokowi tidak punya kewenangan membentuk panitia seleksi, apalagi menyerahkannya ke DPR untuk dibahas.
Hal serupa juga disuarakan oleh mantan Ketua KPK Abraham Samad, dan mendesak Prabowo untuk membentuk panitia seleksi baru dan memulai prosesnya dari awal, mengingat masih ada waktu untuk melakukannya.
Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sudah bertemu dengan pimpinan KPK petahana Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Johanis Tanak untuk menyampaikan keputusan Prabowo mempertahankan 10 calon yang diajukan Jokowi ke DPR.
Yusril mengatakan, keputusan pemerintah tersebut berdasarkan Pasal 30 UU KPK yang mengamanatkan proses seleksi dimulai enam bulan sebelum masa jabatan kepemimpinan saat ini berakhir pada 20 Desember 2024. Ia juga menegaskan, pemerintah mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan satu kesempatan kepada Presiden untuk mengajukan calon pimpinan KPK ke DPR.
Yusril beralasan, keputusan yang diambil Prabowo adalah sebuah keseimbangan, memastikan hukum dan putusan Mahkamah Konstitusi ditegakkan.