Implementasi Konvensi PBB tentang Penyiksaan Masih Mandek: Komnas Perempuan – Masyarakat
Implementasi Konvensi PBB tentang Penyiksaan Masih Mandek: Komnas Perempuan – Masyarakat
eberapa Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa upaya penerapan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia masih stagnan hingga saat ini.
“Rasanya kita terjebak di tempat, masih menghadapi persoalan yang sama,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin seperti dikutip kantor berita Antara.
Mariana menyampaikan laporan yang disusun bersama dalam webinar bertajuk “Membongkar Stagnasi: 25 Tahun Penerapan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia” di Jakarta pada Selasa.
Konvensi tersebut ditandatangani pada tanggal 4 Februari 1985, dan berlaku efektif pada tanggal 26 Juni 1987, setelah menerima 20 ratifikasi. Tanggal 26 Juni kini diperingati sebagai Hari Dukungan Korban Penyiksaan Internasional.
Indonesia menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985, namun baru meratifikasinya 13 tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1998.
Laporan ini disusun melalui kerja enam lembaga independen di Indonesia di bawah bendera Kerjasama Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ombudsman Indonesia (ORI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan Komnas Perempuan.
Mariana menyoroti beberapa permasalahan yang berkontribusi terhadap masih adanya praktik penyiksaan dan kekerasan, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan saat penangkapan.
“Ketergantungan pada pengakuan sebagai bukti utama dan tantangan dalam membatasi wewenang militer, khususnya dalam situasi konflik bersenjata, masih menjadi hambatan utama dalam mencegah terulangnya tindakan penyiksaan,” kata Mariana.
Ia menambahkan bahwa upaya untuk mengakhiri impunitas masih lemah, sementara inisiatif untuk mendukung pemulihan korban juga terhenti.
Permasalahan kedua adalah kurangnya pengawasan yang sistematis dan efektif, yang memungkinkan praktik penyiksaan dan pelecehan terus berlanjut di fasilitas seperti lembaga psikiatri, panti asuhan, dan pusat rehabilitasi narkoba.
Isu ketiga adalah maraknya pendekatan militeristik, dimana kekerasan dan keinginan balas dendam masih tertanam kuat dalam norma-norma masyarakat.
Misalnya, penghapusan hukuman mati dan kebiri kimia masih menjadi tantangan. Demikian pula, praktik-praktik seperti mempermalukan publik dan bentuk-bentuk hukuman massal lainnya, seperti hukuman cambuk di Aceh, masih terus berlanjut.
Permasalahan lainnya adalah kurangnya perspektif sensitif gender di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini berujung pada terjadinya perlakuan buruk terhadap korban dalam berbagai kasus kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, melalui tim KuPP, Komnas Perempuan menerima laporan dan kesaksian korban penyiksaan di lembaga pemasyarakatan, pengungsian, dan lembaga sejenis lainnya.
“Permasalahan yang ditemukan di Lapas seringkali berasal dari masalah anggaran, sehingga menyebabkan tidak mencukupinya penyediaan makanan, air bersih, atau bahkan kebutuhan dasar kesehatan reproduksi bagi perempuan, serta hak-hak lainnya. Ini adalah permasalahan paling umum yang kami temui,” kata Mariana, seperti yang dikutip oleh elshinta.com.
Ia menambahkan bahwa masalah lainnya termasuk penganiayaan atau pelanggaran selama proses penangkapan, seperti penangkapan yang dilakukan tanpa surat perintah dan kurangnya bantuan hukum selama interogasi meskipun ada asas praduga tidak bersalah.