Penangkapan mantan menteri Thomas Lembong menimbulkan pertanyaan politik – Politik

Penangkapan mantan menteri Thomas Lembong menimbulkan pertanyaan politik – Politik

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menangkap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi impor gula yang ditangani Kementerian Perdagangan pada tahun 2015 hingga 2016. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut bermotif politik.

Penyidik ​​menuding Thomas melanggar hukum dengan memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk mengimpor 105.000 ton gula mentah, komoditas yang nantinya akan diolah menjadi gula putih untuk konsumsi rumah tangga.

“Impor tersebut tetap terjadi meski rapat koordinasi tingkat menteri sebelumnya menyimpulkan sudah ada surplus komoditas pada tahun itu,” kata Abdul Qohar, direktur penyidikan pada Kantor Pembantu Jaksa Agung Tindak Pidana Luar Biasa, dalam jumpa pers, Selasa.

Izin tersebut juga dikeluarkan tanpa persetujuan rapat koordinasi menteri atau rekomendasi lembaga terkait, lanjutnya.

Thomas, yang menjabat sebagai menteri perdagangan antara Agustus 2015 dan Juli 2016, juga diduga memerintahkan perusahaan perdagangan negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk bekerja sama dengan produsen gula nasional untuk mengimpor lagi 300.000 ton gula mentah. Keputusan tersebut diambil untuk memenuhi permintaan nasional dan menstabilkan harga komoditas tersebut di dalam negeri.

Jika tujuannya untuk memenuhi permintaan dan menstabilkan harga komoditas tersebut, seharusnya PPI mengimpor gula putih langsung dari luar negeri, dibandingkan melalui perusahaan swasta, menurut Kejagung.

Setiap Senin, Rabu dan Jumat pagi.

Dikirim langsung ke kotak masuk Anda tiga kali seminggu, pengarahan yang dikurasi ini memberikan gambaran singkat tentang isu-isu terpenting hari ini, yang mencakup berbagai topik mulai dari politik hingga budaya dan masyarakat.

untuk mendaftar buletin kami!

Silakan periksa email Anda untuk berlangganan buletin Anda.

Lihat Buletin Lainnya

Tindakan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar (US$25,50 juta) berupa keuntungan bagi delapan perusahaan swasta yang seharusnya masuk ke kas PPI.