Lanjutan dari Jokowi, pemerintahan baru terus dorong pertumbuhan UMKM – Regulasi

Lanjutan dari Jokowi, pemerintahan baru terus dorong pertumbuhan UMKM – Regulasi

Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) telah menjadi pusat perhatian selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dimana Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengambil langkah nyata untuk memperkuat kinerja usaha mereka.

Di bawah pemerintahan Jokowi, UMKM merupakan salah satu sasaran utama program strategis nasional. Hal ini mencerminkan keberhasilan pemerintah dalam melakukan perbaikan kinerja mendasar di sektor-sektor strategis.

Bersamaan dengan Kabinet Indonesia Maju, Jokowi memulai kebijakan-kebijakan pro-UMKM pada tahun 2015 pada masa jabatan pertamanya dan memberikan perhatian lebih lanjut ketika pandemi COVID-19 melanda negara ini, yang membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi UMKM. Kebijakan tersebut antara lain meluncurkan program bantuan modal kerja bagi pengusaha mikro yang tergolong miskin sehingga rentan terhadap dampak pandemi.

Menjelang pergantian pemerintahan, kinerja keuangan negara kembali mendapat sorotan sehingga menimbulkan rasa penasaran terhadap kinerja pendapatan negara.

Sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, UMKM telah mendominasi struktur perekonomian nasional, menjangkau 65 juta usaha dan menyumbang 61 persen produk domestik bruto (PDB) serta 97 persen lapangan kerja dalam negeri.

Di sisi lain, data menunjukkan bahwa pelaku korporasi besar dengan sumber daya yang kuat menguasai bagian terbesar perekonomian.

Setiap hari Senin

Dengan wawancara eksklusif dan liputan mendalam mengenai isu-isu bisnis paling mendesak di kawasan ini, “Prospek” adalah sumber yang tepat untuk tetap menjadi yang terdepan dalam lanskap bisnis Indonesia yang berkembang pesat.

untuk mendaftar buletin kami!

Silakan periksa email Anda untuk berlangganan buletin Anda.

Lihat Buletin Lainnya

Dwi Astuti, Direktur Sosialisasi, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak mengatakan, “Berbagai program pemberdayaan UMKM telah dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan kinerjanya. Ini termasuk insentif pajak.”

Pajak penghasilan final telah direvisi turun menjadi 0,5 persen dari sebelumnya 1 persen, dan penerapan insentif signifikan hingga Rp 500 juta per tahun pada penghasilan tidak kena pajak bagi UMKM swasta.

Dwi Astuti menuturkan, meski jumlahnya besar, para pelaku UMKM belum mampu bersaing dalam hal kontribusi individu sehingga memerlukan respons serius dari pemerintah untuk menjaga landasan perekonomian nasional di masa depan.

“Salah satu upayanya adalah memperkuat aspek krusial dalam ketahanan UMKM, yaitu kapasitas sumber daya manusia dan keterampilan pengelolaan keuangan,” ujarnya.

Kontribusi pajak merupakan kewajiban bagi semua pelaku usaha, kata Dwi Astuti, “Padahal, mengingat karakteristik UMKM, meminta mereka memenuhi kewajiban perpajakan seperti yang kita lakukan pada perusahaan besar akan membebani mereka.”

“Oleh karena itu, kami melakukan pendekatan bersahabat dengan UMKM melalui Layanan Pengembangan Bisnis kami [BDS] inisiatif, dan mengenakan pajak penghasilan final sebesar 1 persen yang mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan dalam [accounting].”

Pemberlakuan insentif pajak bagi UMKM mendorong semakin banyak pelaku UMKM yang membayar pajak berkat penyederhanaan prosedur sehingga mendorong peningkatan penerimaan pajak.

“Berbeda dengan dulu, ketika UMKM menganggap pajak adalah hal yang besar, kini mereka memandang pajak adalah hal yang lebih sederhana dengan dikenakannya tarif yang sederhana,” ujarnya.

Upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menyederhanakan prosedur sangat diperlukan bagi wajib pajak dan selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mariona Mas-Montserrat, Céline Colin, Eugénie Ribault dan Bert Brys dalam kertas kerja perpajakan OECD bertajuk “The Design of Presumptive Tax Regimes”.

Menurut makalah tersebut, prosedur administrasi yang disederhanakan membuat rezim presumtif menarik bagi wajib pajak, karena sistem tersebut sering kali memperbolehkan aturan dan prosedur akuntansi yang disederhanakan, seperti akuntansi kas dibandingkan akuntansi akrual.

Selain itu, rezim presumtif mengurangi frekuensi pengajuan dan pembayaran pajak. Misalnya, pilihan untuk melakukan pembayaran tahunan dengan cara mencicil dan pengembalian pajak tidak terlalu rumit dibandingkan dengan sistem pajak standar, kata makalah tersebut.

Mas-Montserrat dkk. juga menyatakan bahwa interaksi dengan satu mitra pemerintah meringankan beban administratif wajib pajak, karena badan publik diwakili oleh berbagai struktur kelembagaan seperti kementerian, lembaga, dan departemen, yang semuanya memiliki mandat yang dapat tumpang tindih.

“Misalnya, sebuah usaha kecil mungkin diharuskan untuk mendaftar di [national] registrasi bisnis, dapatkan a [local] izin usaha dan pendaftaran pegawai [for social security]terkadang dengan kewajiban untuk memberikan dokumentasi serupa kepada masing-masing institusi,” tulis makalah tersebut.

Hal ini juga mengungkapkan bahwa layanan digital menyederhanakan prosedur administrasi bagi wajib pajak.

“Khususnya, mengumumkan dan membayar pajak dan iuran jaminan sosial secara online atau melalui telepon seluler dapat membantu mengurangi waktu yang dihabiskan untuk urusan administratif,” kata surat kabar tersebut.

Lebih lanjut Dwi Astuti mengatakan Direktorat Jenderal Pajak telah melaksanakan program BDS secara vertikal sehingga membina hubungan erat antara UMKM dan kantor pajak.

Konsep naiknya UMKM ke kelas yang lebih tinggi mengacu pada penguatan kinerja UMKM dengan meningkatkan kapasitasnya dalam menjalankan usaha dan memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap peraturan dan kebijakan pemerintah.

Terbatasnya akses pasar, kurangnya sumber daya manusia yang terampil, kurangnya keterampilan digital, dan terbatasnya akses terhadap layanan keuangan merupakan beberapa tantangan yang dihadapi pengusaha UMKM, menurut para ahli. Data menunjukkan sekitar 18 juta UMKM masih belum memiliki akses terhadap layanan keuangan formal, sementara 46 juta UMKM memerlukan pembiayaan tambahan untuk modal usaha dan investasi.

Oleh karena itu, selain memberikan edukasi perpajakan melalui workshop pelatihan di dinas pajak daerah, Dwi Astuti mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak juga melakukan sosialisasi mengenai fasilitas dan perlindungan pemerintah untuk mendidik UMKM Indonesia, bekerja sama dengan lembaga dan organisasi terkait.

Di bawah pemerintahan Jokowi, pemerintah juga mendorong transformasi digital UMKM sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional, yang merancang target tahun 2024 untuk mendigitalkan 40 juta UMKM sebagai salah satu pilar pemulihan terpenting, di samping layanan kesehatan dan perlindungan sosial. .

Sejak tahun 2016, Direktorat Jenderal Pajak telah memperkenalkan peluang pendidikan kepada UMKM melalui inisiatif BDS untuk membekali pemilik usaha kecil dengan keterampilan dan pengetahuan utama guna mempertahankan dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuan utama mereka.

“Misalnya, kami memberikan teknik kepada mereka […] digital marketing, cara menyiapkan kemasan produk yang menarik dan tips mengakses pendanaan dari perbankan,” kata Dwi Astuti.

“Kami mendidik UMKM perempuan [entrepreneurs] bagaimana menggunakan platform media sosial untuk penjualan online dan sebagai alat pemasaran. Kami juga meningkatkan kesadaran mereka untuk terlibat dalam [a business] ventura bukan sekadar gaya hidup sehari-hari, tapi juga aktivitas bisnis jangka panjang,” ujarnya.

“Tujuan dari program ini adalah agar UMKM bisa naik ke kelas yang lebih tinggi dan dengan begitu omzetnya juga meningkat. […] Sejak program ini diluncurkan pada tahun 2016, kami telah menjangkau lebih dari 200.000 pelaku UMKM.”

Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan program BDS secara rutin setiap tahunnya.

Ke depan, KPP tetap berkomitmen untuk memberdayakan dan menumbuhkan jumlah pengusaha UMKM di bawah pemerintahan baru agar bisa naik ke kelas perpajakan yang lebih tinggi.

“Direktorat Jenderal berkomitmen mendukung pertumbuhan bisnis UMKM melalui program BDS, oleh karena itu kami berharap dapat berkolaborasi dengan Kementerian UMKM,” kata Dwi Astuti.

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)